Novel punya jenis kelamin
Hari pertama masuk kantor pada 2019, saya dihadapkan komentar seksis seorang rekan kerja (selanjutnya disebut RK) dengan komentar "laki-laki tidak pantas membaca novel. Hanya perempuan yang harus baca novel."
Kejadian ini berawal dari si RK yang saya cekcoki serial pertama Supernova-nya Dee Lestari, dengan memberi beberapa komentar provokatif super bagusnya Kesatria, Puteri dan Bintang Jatuh yang harus dibaca.
Sehari lalu, si RK dengan semangat menceritakan kesannya setelah menamatkan buku yang menurutnya "luar biasa banget". Kami berbincang panjang lebar tentang buku tersebut, lalu tercetuslah komentar di atas. Saya dengan wajah penuh tanda tanya ala komik Jepang langsung komentar "memangnya novel itu punya jenis kelamin ya? Ada dibagian mana ya? Saya kok tidak pernah melihat? Lalu kenapa yang jadi penulis banyak laki-laki ya? Anda sadar, pernyataan anda itu seksis?!"
Okeh, pemirsa jadi dari penggalan drama patriarki di atas, sesungguhnya menggambarkan bahwa sedikit sekali orang yang bekerja di kantor pemerintah yang konsentrasinya adalah kesetaraan gender dan perlindungan anak paham tentang apa itu kesetaraan gender. Saya heran juga bagaimana bisa berjuang untuk hak perempuan dan anak jika bahkan untuk novel saja diberi label serupa mahluk hidup, perempuan laki-laki, betina jantan, feminim maskulin.
Si RK bilang itu karena pada umumnya yang baca novel itu perempuan. Eeh, hei. Hello! Punya data valid tentang jumlah pembaca fiksi Indonesia berdasarkan jenis kelamin kah, sampai dengan percaya diri men-generalisasikan pembaca dan jenis buku?! Tahukah, bahwa banyak novel yang ditulis bukan hanya berangkat dari beragam teori sosial melainkan juga kritik sosial pada sistem yg dianut masyarakat dan rezim yang berkuasa?!
Sesungguhnya membaca itu perihal hobi, tidak ada hubungannya jenis kelamin dengan genre buku yang dibaca. Sebab jika demikian lalu apa pula sebutan perempuan penikmat bacaan otomotif, IT atau bahkan untuk bacaan non fiksi yang membutuhkan analisis seperti Marx, Engels atau bahkan Gayatri Spivak? Disebut tidak pantas pula kah atau ada istilah yang lebih seksis?!
Ovy Hayatuddin
Tidore, 2019
Komentar
Posting Komentar