Beasiswa, kerja dan feminisme (Realistis Mode On)
Mari bercerita tentang kenapa saya menyebut-nyebut tentang hubungan pekerjaan dengan jurusan kuliah yang diinginkan jika berhasil kuliah di Australia.
Sehari lalu, saya dan dua teman berkesempatan berbagi tentang beasiswa long term award Australia Awards Scholarship atau beasiswa untuk jangka panjang dari Pemerintah Australia, di salah satu radio milik negara di Ternate.
Dalam sesi sapa pagi yang terselenggara setelah beberapa kali ganti jadwal karena menyesuaikan dengan jadwal radio tersebut, kami bahkan tidak melakukan breafing singkat seperti biasa yang dilakukan sebelum memulai sebuah acara.
Kami diberi kesempatan berbagi cerita selama 45 menit -yang sudah termasuk selingan lagu & pengantar dari penyiar, jadi hitung saja sendiri berapa persen peluang setiap orang untuk menjawab pertanyaan penyiar dan pendengar radio dalam bentuk deskripsi yang rinci- tentang pengalaman mengikuti seleksi dan "perasaan" saat mendapat pengumuman kelulusan beasiswa tersebut beberapa bulan lalu. (Kawan saya bahkan berkelakar bahwa jawaban yang dia beri sebenarnya baru pengantar, belum masuk ke per-ontal-an đ)
Retoris? Iya, jelas bahwa ada orang bertanya tentang bagaimana perasaan anda terhadap sesuatu adalah pertanyaan yang sangat ingin saya jawab hanya dengan tawa atau jawaban "yaa begitulah".
Kembali ke topik, saat penyiar bertanya beberapa hal tentang bagaimana sebenarnya proses wawancara dan seleksi beasiswa ini, saya menjawab bahwa sebagian besar isi dari portal oasis (portal pertama pendaftaran AAS) adalah dokumen-dokumen, CV (biodata pribadi) dan essay.
Sebenarnya saya mengatakan (entahlah apa yang saya tulis ini persis sesuai dengan apa yang saya katakan disiaran tersebut, nonton saja lagi siaran live nya di postingan fb saya sebelumnya - maaf jika tidak persis, sebab ingatan jangka pendek manusia, kawan punya daya ingat berbeda pada tiap orang) bahwa hubungan antara pemilihan jurusan dengan pekerjaan juga penting untuk diperhatikan baik di essay maupun di wawancara, sebab salah satu pertanyaan dalam pernyataan pendukung di essay adalah kontribusi yang akan diberikan baik untuk pekerjaan maupun untuk pembangunan (SDM) di wilayah anda.
Bagi saya (tentu saja pendapat ini begitu subjektif) penting menekankan bahwa di atas segalanya, essay memiliki poin terbesar dalam beasiswa, jika essay kita padat (tidak menggunakan kata-kata pica bunga) dan menjawab pertanyaan, dapat mendistribusikan ide bahkan menyampaikan pesan bahwa ini loh yang akan saya lakukan, maka anda akan dipertimbangkan untuk diajukan kepada pihak DFAT agar dapat melaju ke tahap selanjutnya.
Sebagai bahan pengingat, saya adalah alumni Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara yang juga seorang pegiat PILAS Institute (dan saya bangga pernah berproses bersama mereka). Di PILAS Institute saya banyak belajar tentang gender dan feminisme (saya bahkan menjadi sekertaris pada Bidang Pemberdayaan Gender), begitu pula dengan Jurusan Sosiologi yang mengenalkan saya kepada gender melalui mata kuliah Sosiologi Gender.
Saya sekarang bekerja sebagai pelayan masyarakat pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Maluku Utara yang notabene sebuah wadah yang menyelenggarakan koordinasi dan upaya untuk memberdayakan perempuan, dan terutama melindungi dan mencegah anak dan perempuan dari segala bentuk kekerasan. Yah, klise bagi sebagian orang jika dianggap bahwa saya beranggapan mampu membantu kerja-kerja dinas, tapi saya benar-benar yakin bahwa saya bisa (maaf ini bukan ambisius melainkan optimisme). Catat dan garis bawahi bahwa perubahan tidak dapat dilakukan semudah membalik telapak tangan, perlu kerja besar bahkan jika kita kerja pada LSM tidak serta-merta langsung ada perubahan besar pada beberapa tahun pertama.
Di Dinas PP-PA terdapat beberapa bidang kerja yang fokus pada tusinya masing-masing (sebagaimana badan struktur pada setiap lembaga), yakni Pengarusutamaan Gender (PUG), Bidang Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Bidang Perlindungan Hak Perempuan. Bidang terakhir ini juga membidangi P2TP2A (soon to be UPTD -terpujilah Kak Imam, Tati dan orang-orang hebat yang berjuang tiada henti), yang bekerjasama dengan LSM Daurmala sebagai pengurus harian (jadi jika kakak-kakak atau kawan-kawan mengetahui kekerasan dalam bentuk apapun di sekeliling kita mari melapor ke unit Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak).
Kembali ke saya (lagi) wkwwk -dan tiba-tiba langsung berasa penting đ. Saya saat pertama bergabung di Dinas PPPA, -saat masih bernomenklatur Badan- menjadi bagian dari Bidang PKHP (sudah lupa pun kepanjangannya đ), lalu dianulir ke Bidang PUG dan sekarang bergabung di Bidang PHA. Dari perpindahan ke bidang-bidang tersebut saya banyak menghadapi tantangan, baik internal maupun eksternal, yang menyadarkan saya bahwa sesungguhnya setiap masalah kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi berdasar kepada ketidakadilan gender dan ketidakmauan orang untuk mengganti sudut pandang dan belajar memandang masalah dari berbagai sisi. Ingatlah bahwa bahkan di internal lembaga (manapun) sangat berpeluang terhadap terjadinya kekerasan simbolis atau simbolik. Pierre Bourdieu menyebutkan âla violence symboliqueâ atau kekerasan simbolik adalah bentuk lain dari kekerasan, yang bermakna sebuah kekerasan yang tidak kasat mata dan tidak dapat terlihat dengan jelas tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam dari orang yang mengalaminya (korbannya). (Lihat kajian Romo Haryatmoko dalam KAFFE yang diselenggarakan Jurnal Perempuan)
Jadi, sampai di sini saya rasa kawan-kawan sudah paham mengapa saya mengatakan bahwa penting untuk melihat hubungan jurusan kuliah dan pekerjaan yang digeluti.
Saya memutuskan melanjutkan konsentrasi kepada Studi Perempuan dan Gender (Women and Gender Studies) bukan semata-mata karena saya kerja di Dinas PP-PA, melainkan saya sangat suka berbagi pengetahuan dengan semua orang tentang pentingnya mengetahui dan self aware pada hak-hak sebagai manusia merdeka, yang otomatis membantu menurunkan angka kekerasan. Bagaimana bisa? Bisa. Saya bilang sekali lagi, bisa. Sebab apabila orang sadar sejak dalam pikiran dan mencoba tidak tereksploitasi dan mengeksploitasi, maka kesadaran tentang hak untuk hidup bebas dari kekerasan, bebas berpendapat, bebas berpendidikan tinggi tanpa menghawatirkan berbagai pelabelan, bebas berjalan-jalan tanpa khawatir catcalling atau bahkan bebas dari pengucilan berfikir dengan berlandaskan sempitnya cara berpikir tentang analogi tidak ada kucing yang menolak diberi ikan.
Jadi, mari bahas lebih lanjut tentang pekerjaan dan jurusan beasiswa. Ada orang bilang bahwa kerja di birokrasi tak pernah luput dari mutasi keluar dinas, jadi kenapa harus kuliah Gender lagi jika suatu saat bisa dipindahkan ke dinas lain. Jawabannya gampang kawan, sesungguhnya kita tidak menuntut ilmu untuk dimanfaatkan sesempit itu. Setiap hari kita bahkan dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, melakukan kampanye media bahkan menjadi fasilitator pada kajian-kajian kecil-kecilan pada setiap waktu. Bukankah kawan-kawan saya di organisasi dan komunitas manapun juga belum sepenuhnya paham tentang menggoda perempuan dan mengomentari bentuk tubuh dan cara berpakaian orang adalah salah satu bentuk kekerasan seksual?!
Saya bahkan sering menjumpai kawan-kawan yang melontarkan candaan seksisme, (seorang guru saya di SMP bahkan misoginis), dan ini tidak hanya berlaku untuk kawan aktivis laki-laki, untuk perempuan yang melakukan aktivitas melecehkan yang sama pada sesama jenis juga banyak.
Intinya, sependek pengetahuan kita banyak sekali perundungan dan kekerasan. Di dunia kerja pun, seharusnya pekerja (dulu saya pernah mengatakan bahwa PNS juga adalah karyawan, seorang kawan menolak dengan keras lalu dengan sarkasme saya mengatakan memang bukan karyawan tapi buruh) benar-benar self aware terhadap potensi kekerasan di tempat kerja. Tidak menutup kemungkinan bahwa di tempat saya kerja tidak semua orang paham gender, -minimal pada tataran praktis- hingga bahkan cenderung menjadi pelaku kekerasan simbolik. Birokrasi memang kaku, yah kawan-kawan taulah seberapa besar pengaruh penjajahan dan praktek penertiban administrasi masa kolonial pada perkembangan pembentukan (watak) birokrasi (dan birokrat) negara kita.
Sekian yah semoga bisa paham tentang hubungan pekerjaan dan jurusan studi, saya encok menulis sambil memikirkan pendapat orang. Masa bodoh lah, bila ada orang berkomentar tentang harusnya begini harusnya begitu tanpa memberi solusi pada subjektivitas. Tuhan bahkan tau, saya menulis bukan untuk cari nama, cari gelar apalagi cari jabatan wkwwkk Saya hanya ingin jaga waras.
Salam setara.
Eeh salam setara yang jadi slogannya anak-anak feminis dan marak digunakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI ini merupakan eufemisme dari EGALITARIANISME.
Jadi salam setara. Salam baku hujat ilmiah.
Tidore, 18 Nov 2019
Sehari lalu, saya dan dua teman berkesempatan berbagi tentang beasiswa long term award Australia Awards Scholarship atau beasiswa untuk jangka panjang dari Pemerintah Australia, di salah satu radio milik negara di Ternate.
Dalam sesi sapa pagi yang terselenggara setelah beberapa kali ganti jadwal karena menyesuaikan dengan jadwal radio tersebut, kami bahkan tidak melakukan breafing singkat seperti biasa yang dilakukan sebelum memulai sebuah acara.
Kami diberi kesempatan berbagi cerita selama 45 menit -yang sudah termasuk selingan lagu & pengantar dari penyiar, jadi hitung saja sendiri berapa persen peluang setiap orang untuk menjawab pertanyaan penyiar dan pendengar radio dalam bentuk deskripsi yang rinci- tentang pengalaman mengikuti seleksi dan "perasaan" saat mendapat pengumuman kelulusan beasiswa tersebut beberapa bulan lalu. (Kawan saya bahkan berkelakar bahwa jawaban yang dia beri sebenarnya baru pengantar, belum masuk ke per-ontal-an đ)
Retoris? Iya, jelas bahwa ada orang bertanya tentang bagaimana perasaan anda terhadap sesuatu adalah pertanyaan yang sangat ingin saya jawab hanya dengan tawa atau jawaban "yaa begitulah".
Kembali ke topik, saat penyiar bertanya beberapa hal tentang bagaimana sebenarnya proses wawancara dan seleksi beasiswa ini, saya menjawab bahwa sebagian besar isi dari portal oasis (portal pertama pendaftaran AAS) adalah dokumen-dokumen, CV (biodata pribadi) dan essay.
Sebenarnya saya mengatakan (entahlah apa yang saya tulis ini persis sesuai dengan apa yang saya katakan disiaran tersebut, nonton saja lagi siaran live nya di postingan fb saya sebelumnya - maaf jika tidak persis, sebab ingatan jangka pendek manusia, kawan punya daya ingat berbeda pada tiap orang) bahwa hubungan antara pemilihan jurusan dengan pekerjaan juga penting untuk diperhatikan baik di essay maupun di wawancara, sebab salah satu pertanyaan dalam pernyataan pendukung di essay adalah kontribusi yang akan diberikan baik untuk pekerjaan maupun untuk pembangunan (SDM) di wilayah anda.
Bagi saya (tentu saja pendapat ini begitu subjektif) penting menekankan bahwa di atas segalanya, essay memiliki poin terbesar dalam beasiswa, jika essay kita padat (tidak menggunakan kata-kata pica bunga) dan menjawab pertanyaan, dapat mendistribusikan ide bahkan menyampaikan pesan bahwa ini loh yang akan saya lakukan, maka anda akan dipertimbangkan untuk diajukan kepada pihak DFAT agar dapat melaju ke tahap selanjutnya.
Sebagai bahan pengingat, saya adalah alumni Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara yang juga seorang pegiat PILAS Institute (dan saya bangga pernah berproses bersama mereka). Di PILAS Institute saya banyak belajar tentang gender dan feminisme (saya bahkan menjadi sekertaris pada Bidang Pemberdayaan Gender), begitu pula dengan Jurusan Sosiologi yang mengenalkan saya kepada gender melalui mata kuliah Sosiologi Gender.
Saya sekarang bekerja sebagai pelayan masyarakat pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Maluku Utara yang notabene sebuah wadah yang menyelenggarakan koordinasi dan upaya untuk memberdayakan perempuan, dan terutama melindungi dan mencegah anak dan perempuan dari segala bentuk kekerasan. Yah, klise bagi sebagian orang jika dianggap bahwa saya beranggapan mampu membantu kerja-kerja dinas, tapi saya benar-benar yakin bahwa saya bisa (maaf ini bukan ambisius melainkan optimisme). Catat dan garis bawahi bahwa perubahan tidak dapat dilakukan semudah membalik telapak tangan, perlu kerja besar bahkan jika kita kerja pada LSM tidak serta-merta langsung ada perubahan besar pada beberapa tahun pertama.
Di Dinas PP-PA terdapat beberapa bidang kerja yang fokus pada tusinya masing-masing (sebagaimana badan struktur pada setiap lembaga), yakni Pengarusutamaan Gender (PUG), Bidang Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Bidang Perlindungan Hak Perempuan. Bidang terakhir ini juga membidangi P2TP2A (soon to be UPTD -terpujilah Kak Imam, Tati dan orang-orang hebat yang berjuang tiada henti), yang bekerjasama dengan LSM Daurmala sebagai pengurus harian (jadi jika kakak-kakak atau kawan-kawan mengetahui kekerasan dalam bentuk apapun di sekeliling kita mari melapor ke unit Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak).
Kembali ke saya (lagi) wkwwk -dan tiba-tiba langsung berasa penting đ. Saya saat pertama bergabung di Dinas PPPA, -saat masih bernomenklatur Badan- menjadi bagian dari Bidang PKHP (sudah lupa pun kepanjangannya đ), lalu dianulir ke Bidang PUG dan sekarang bergabung di Bidang PHA. Dari perpindahan ke bidang-bidang tersebut saya banyak menghadapi tantangan, baik internal maupun eksternal, yang menyadarkan saya bahwa sesungguhnya setiap masalah kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi berdasar kepada ketidakadilan gender dan ketidakmauan orang untuk mengganti sudut pandang dan belajar memandang masalah dari berbagai sisi. Ingatlah bahwa bahkan di internal lembaga (manapun) sangat berpeluang terhadap terjadinya kekerasan simbolis atau simbolik. Pierre Bourdieu menyebutkan âla violence symboliqueâ atau kekerasan simbolik adalah bentuk lain dari kekerasan, yang bermakna sebuah kekerasan yang tidak kasat mata dan tidak dapat terlihat dengan jelas tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam dari orang yang mengalaminya (korbannya). (Lihat kajian Romo Haryatmoko dalam KAFFE yang diselenggarakan Jurnal Perempuan)
Jadi, sampai di sini saya rasa kawan-kawan sudah paham mengapa saya mengatakan bahwa penting untuk melihat hubungan jurusan kuliah dan pekerjaan yang digeluti.
Saya memutuskan melanjutkan konsentrasi kepada Studi Perempuan dan Gender (Women and Gender Studies) bukan semata-mata karena saya kerja di Dinas PP-PA, melainkan saya sangat suka berbagi pengetahuan dengan semua orang tentang pentingnya mengetahui dan self aware pada hak-hak sebagai manusia merdeka, yang otomatis membantu menurunkan angka kekerasan. Bagaimana bisa? Bisa. Saya bilang sekali lagi, bisa. Sebab apabila orang sadar sejak dalam pikiran dan mencoba tidak tereksploitasi dan mengeksploitasi, maka kesadaran tentang hak untuk hidup bebas dari kekerasan, bebas berpendapat, bebas berpendidikan tinggi tanpa menghawatirkan berbagai pelabelan, bebas berjalan-jalan tanpa khawatir catcalling atau bahkan bebas dari pengucilan berfikir dengan berlandaskan sempitnya cara berpikir tentang analogi tidak ada kucing yang menolak diberi ikan.
Jadi, mari bahas lebih lanjut tentang pekerjaan dan jurusan beasiswa. Ada orang bilang bahwa kerja di birokrasi tak pernah luput dari mutasi keluar dinas, jadi kenapa harus kuliah Gender lagi jika suatu saat bisa dipindahkan ke dinas lain. Jawabannya gampang kawan, sesungguhnya kita tidak menuntut ilmu untuk dimanfaatkan sesempit itu. Setiap hari kita bahkan dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, melakukan kampanye media bahkan menjadi fasilitator pada kajian-kajian kecil-kecilan pada setiap waktu. Bukankah kawan-kawan saya di organisasi dan komunitas manapun juga belum sepenuhnya paham tentang menggoda perempuan dan mengomentari bentuk tubuh dan cara berpakaian orang adalah salah satu bentuk kekerasan seksual?!
Saya bahkan sering menjumpai kawan-kawan yang melontarkan candaan seksisme, (seorang guru saya di SMP bahkan misoginis), dan ini tidak hanya berlaku untuk kawan aktivis laki-laki, untuk perempuan yang melakukan aktivitas melecehkan yang sama pada sesama jenis juga banyak.
Intinya, sependek pengetahuan kita banyak sekali perundungan dan kekerasan. Di dunia kerja pun, seharusnya pekerja (dulu saya pernah mengatakan bahwa PNS juga adalah karyawan, seorang kawan menolak dengan keras lalu dengan sarkasme saya mengatakan memang bukan karyawan tapi buruh) benar-benar self aware terhadap potensi kekerasan di tempat kerja. Tidak menutup kemungkinan bahwa di tempat saya kerja tidak semua orang paham gender, -minimal pada tataran praktis- hingga bahkan cenderung menjadi pelaku kekerasan simbolik. Birokrasi memang kaku, yah kawan-kawan taulah seberapa besar pengaruh penjajahan dan praktek penertiban administrasi masa kolonial pada perkembangan pembentukan (watak) birokrasi (dan birokrat) negara kita.
Sekian yah semoga bisa paham tentang hubungan pekerjaan dan jurusan studi, saya encok menulis sambil memikirkan pendapat orang. Masa bodoh lah, bila ada orang berkomentar tentang harusnya begini harusnya begitu tanpa memberi solusi pada subjektivitas. Tuhan bahkan tau, saya menulis bukan untuk cari nama, cari gelar apalagi cari jabatan wkwwkk Saya hanya ingin jaga waras.
Salam setara.
Eeh salam setara yang jadi slogannya anak-anak feminis dan marak digunakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI ini merupakan eufemisme dari EGALITARIANISME.
Jadi salam setara. Salam baku hujat ilmiah.
Tidore, 18 Nov 2019
Syukaaaađ€©
BalasHapus"saya menulis bukan untuk cari nama"
đđ danke beb
Hapus"Saya menulis bukan untuk mencari nama"
BalasHapusBtw, hilang di mana namanya ovy?đđ
Ilang di aer laut đ€Łđ€Ł tabawa ombak wkwk
Hapus