BOKI - PROLOG
Biar ku kukisahkan padamu sebuah cerita. Tentang perempuan dan keelokan paras, tentang perempuan yang jinak namun menjilat.
Sebab hidup tak melulu belajar tentang protes, kadang ia juga mengajarkan kita tentang kepatuhan atau pematuhan. Atau pemaksaan kehendak secara halus, dan hanya akan ada beberapa anak muda yang sadar yang mampu bersuara.
"Siapa, nek?" suara gadis kecil memutus perkataan seorang perempuan senja yang duduk menimang kucing.
Nenek menoleh dan didapatinya leher jenjang anak gadis yang menjulur dari pintu. Nenek mengangkat alis, di sana hanya ada warna perak yang mulai menipis.
"Itu, siapa yang bersuara?"
Nenek terdiam kelihatan menajamkan pendengaran, pada suara-suara di sekitar mereka, sekitar rumah mereka. Rumah ini sepi, ayah dari si anak gadis sedang melaut.
"Tadi, saat nenek bilang ada beberapa anak muda yang bersuara. Siapa mereka?"
Nenek tersenyum, kepalanya menunduk menatap kepala kucing yang terlelap dalam belaian.
Di pintu si anak gadis gelisah, tangan kanannya menggaruk-garuk dinding.
"Demaaa,"
Kepala si gadis menoleh ke arah dapur, mama memanggil.
"Nenek?"
"Demaaa?!"
"Nenek?"
Nenek hanya diam, tangannya mengelus-elus kepala kucing yang bulunya berwarna jingga. Kucing itu sama tua nya dengan usia ibu Dema, gemuk dengan wajah garang kucing jantan. Sekitar matanya ada codet panjang, seperti tanda alam pada bekas perkelahian di masa lampau, mungkin saat memperebutkan betina nya dengan jantan lain.
Dema merengut pada nenek, lalu berbalik berlari menuju dapur. Disana ibunya terdengar mengucapkan sesuatu, lantas ia kembali, berjalan keluar rumah dengan segenggam uang di tangan kirinya dalam saku celana.
* Ovy Hayatuddin
Komentar
Posting Komentar