SELF-ESTEEM. PENTINGKAH?

 

Self-esteem, dalam bahasa Indonesia diartikan mencintai diri sendiri, adalah sebuah pencapaian tertinggi dari usaha untuk berdamai diri sendiri. Bukan hal gampang tentu saja, anda pertama-tama perlu menghadapi masalah, situasi ataupun kondisi apapun yang mempengaruhi kedamaian hidup (atau hati) anda. Seumpama lingkaran setan, masalah yang anda hadapi (mungkin saja) tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal. Untuk mengurainya tentu butuh waktu lama dan pendekatan berbeda. Marilah kita berbicara tentang “masalah” dalam konteks general, tidak hanya merujuk pada satu masalah tertentu, namun tentu saja merujuk pada masalah yang berpengaruh pada kesehatan mental anda, saya dan kita semua.

Lalu pernahkah anda merasakan ‘overthinking’?  Bagi saya overthinking merujuk pada sebuah kondisi psikologis di mana pikiran kita berjelajah melampaui ruang dan waktu, bukan hanya merujuk pada “banyak pikiran” dalam bahasa Indonesia. Waktu-waktu tertentu seperti menjelang tidur atau saat seseorang sedang ingin sendiri (me time) adalah ‘WIBO atau waktu individu bagian overthinking’. Pikiran sesorang bisa saja menjelajah ke masa lalu, masa kecilnya dan berakhir dengan mengingat hal-hal yang menyakitkan. Kan bukan hanya satu-dua masalah atau kondisi yang membentuk seperti apa anda sekarang, dan di masa depan.

Beberapa hari lalu saya membaca cuitan di twitter, yang rupanya berasal dari live instagram seorang seleb Korea-Amerika, yang membahas tentang anxiety yang dialaminya. Menurutnya, kalimat seperti kamu tidak bisa tidak menuruti apa yang dikatakan orangtuamu, kamu harusnya bersyukur bahwa orangtuamu memberikan nasihat (atau didikan) yang keras. Sekarang kamu bisa saja marah pada keadaan bahwa orangtuamu adalah salah satu dari sekian banyak orangtua toxic di dunia ini, tapi dalam lima tahun kedepan kamu akan tahu bahwa apa yang mereka katakan adalah BENAR.

Sejujurnya, selain dari mempertanyakan pernyataannya, saya bertanya-tanya mungkinkah sedang terjadi sesuatu pada orang ini? Sebab salah satu tanda-tanda stres (kalau saya tidak salah menyebutkan) yang paling nyata adalah mencari pembenaran pada diri sendiri. Maaf saya bukan seorang ahli psikologi, tetapi disiplin pengetahuan saya sedikit banyak bersinggungan dengan hal ini. Bagi saya, BENAR tidak berarti MUTLAK dan bertanya bukan berarti memberontak. Semacam kita hanya perlu mengonfirmasi suatu informasi yang mungkin saja menjadi kunci dalam perdebatan batin dan bisa membantu kita berdamai dengan keadaan dan diri sendiri. Dan lagi, orang bisa saja memberi seribu nasihat, tapi hanya dirimu sendiri yang tau kemana arah anginnya.

Mari berbincang sedikit tentang keluarga toxic. Adalah sebuah keberanian dari seorang anak untuk mengakui bahwa ia berada dalam sebuah lingkungan keluarga yang tidak sehat. Yang orang tuanya menyembunyikan sesuatu dari masa lalu atau yang sedang terjadi, yang cara orangtuanya mendidik  mengikuti gaya militer, yang orangtuanya tempramental, yang orangtuanya suka berselingkuh, atau bahkan yang saudaranya hanya bersikap bagai benalu. Maaf saya tidak berbicara tentang dukungan finansial keluarga dalam arti sempit, saya tau, anda tau ini lebih dari itu. Sekarang coba lihat dan tanya pada diri sendiri, apakah anda bahagia? Apakah anda pura-pura bahagia? Apakah anda diminta menjadi ‘sempurna’ sedangkan anda tidak baik-baik saja? Coba bilang pada sendiri, tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja. Tidak setiap kita wajib menyenangkan orang lain dan Tuhan juga tau.

Setelah mencerna kembali situasi kita, selanjutnya adalah tahap di mana anda mulai mempertanyakan diri anda sendiri. Beribu dan berjuta kenapa mulai menggerayangi isi otak anda, lalu tanpa anda sadari sudah tibalah anda kedepan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang....... Eeh astaga, salah. Maksudnya pertanyaan-pertanyaan yang bikin anda overthinking. Satunya sebabnya adalah ketika mencoba mendapatkan “jawaban di otaknya sendiri”. Semoga anda paham apa maksud saya.  

Lalu apa hubungan antara overthinking, hubungan yang tidak sehat dan self-esteem? Jelas bahwa ketika anda belum bisa berdamai dengan diri sendiri, anda mungkin tidak bisa merasakan ‘mencintai diri sendiri’ dan bahagia dengan pencapaian anda meski hanya sebuah hal kecil. Seseorang bisa saja menyalahkan dirinya sendiri untuk sebuah masalah yang terjadi dan tidak ada hubungannya dengan dia. Pendeknya, jika saya lama berada dalam sebuah hubungan yang tidak sehat, saya akan jadi sangat sensitif, tempramental, sering merasa rendah  diri, membandingkan diri sendiri dengan orang lain, hingga sering sekali menjadikan orang lain, masalah kecil atau kondisi lain sebagai pelampiasan emosi. Ingat, anda mungkin tidak setuju tapi bagi saya pelaku adalah korban pada waktu yang berbeda. Seorang anak akan melakukan kekerasan pada teman bermainnya ketika ia juga sering dikasari di rumah. Semacam sebuah lingkaran setan yang benar-benar setan. Untuk keluar dari sana, anda perlu #speakup #metoo atau jujur pada sendiri. Jika tidak bisa berbicara pada (atau menemukan) orang lain, maka menulislah, tentang apa yang anda benci, yang menyakitkan dan apa yang menyenangkan dalam hidup anda. Sesungguhnya pikiran anda akan sangat jauh lebih jernih setelah menulis.

Healing atau penyembuhan akan sangat jauh untuk dijangkau jika anda mengingkari keadaan diri sendiri. Saya sudah lama melewati tahap di mana saya merasa tidak bisa mencintai diri sendiri, tidak bisa percaya orang lain dan berbagai bentuk kondisi psikologis yang mempertanyakan diri sendiri lainnya. Menyesali masa lalu? Tidak, saya tidak menyesal berada dalam setiap kondisi toxic, perbulian, pengucilan atau bahkan kekerasan (seksual). Saya belajar dari masa lalu dan sadar bahwa kebahagiaan adalah tentang melawan keadaan (situasi) lalu menerima diri sendiri, dan itu sulitnya kayak mau meninggal.

 

 

Bali, 17 September 2020

Ovy Hayatuddin

Komentar

  1. Suka kak, mari kita jalan ke pantai atau pergi naik gunung, hehehe πŸ™

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN WAWANCARA BEASISWA AUSTRALIA AWARDS 2019

WHAT’S GOIN ON ADELAIDE?

Whats goin on in Adelaide? Part 2